Ketika
Dante pertama kali memperkenalkan dirinya sebagai calon kakak laki-lakinya,
Mireille bisa membayangkan hal-hal seru yang bisa dilakukan dengan Dante
layaknya sepasang kakak-beradik—liburan di salah satu private island yang
dimiliki mendiang ayahnya, diantar pergi ke sekolah (dimana Rei akan pamer pada
temannya betapa tampannya sang kakak) dan hal-hal yang lain. Mata birunya
seolah menghipnotis Mireille untuk terus menatap ke dalamnya dan senyum boyish milik Dante membuat Mireille
mengingat actor berkebangsaan Perancis dengan bekas luka di salah satu pipinya.
Kalau dipikir lagi, Dante memang sekilas mirip dengan Gaspard Ulliel. Nope, not related, ma chérie, ucap Dante disertai
senyum—yang membuat Mireille berharap dirinya bukan calon adik perempuan Dante
namun calon istrinya—ketika Rei bertanya mengenai kemiripannya dengan Monsieur
Ulliel.
Tentu saja, Dante menjadi sosok yang sempurna. Tampan, ramah,
baik hati dan tentu saja, bloody
rich—being someone who owns most of the stocks in Hannigan Enterprise at the
age of 28 will do wonders to your bank account. Semua
teman-teman Rei iri kepadanya begitu ia memperkenalkan Dante kepada mereka,
satu poin tambahan ke dalam kehidupan sempurna milik Rei. Hanya Abel yang
terlihat tidak setuju melihat lengan Dante melingkar di pinggangnya sore itu,
mata hazel milik sahabatnya itu berkilat penuh amarah. Dan seringai menantang
yang Dante perlihatkan pada Abel tidak membuat semuanya menjadi lebih baik.
“I
don’t like him, Rei. He has this villainy aura all over him,” jelas
pemuda yang lebih mudah beberapa bulan darinya. Rei tersenyum melihat raut serius
menghias wajah Abel sembari menepuk-nepuk puncak kepalanya dan mengingatkan
pemuda itu untuk tidak terlalu banyak membaca komik.
“Villains
only exist in fictions, Sailendra,”
“We
have monsters here. More frightening than the monsters in the closet,”
Kali ini Rei tertawa sembari menggelengkan kepalanya, “Natasha asked you to accompany her watching
over the boys, didn’t she?” Natasha adalah sepupu perempuan satu-satunya
Abel yang selalu membuat kakak-kakak sepupunya (dan adik-adiknya) mengikuti
kemauannya dan tidak akan mau mendengar jawaban tidak.
“I
mean it, Rei. If he does thing to you, you can always call me, okay?”
ucap Abel, kali ini dengan nada yang lebih serius dari sebelumnya, membuat Rei
mengangguk pelan, mencoba menerka hal apa yang dipikirkan pemuda bernama
belakang Mahardian itu. Rei memang tidak pernah bisa menebak jalan pikir
sahabatnya yang satu ini, Abel is too
broody and angsty for Rei’s way of thinking, always suspicious of small things
and always think of the worst from others.
-*-
Tangannya segera bergerak memijat kepalanya yang seolah
terperas-peras, erangan kecil keluar dari mulutnya. Ia merasakan seseorang
menyuruhnya untuk bangun dan tepukan di pipinya yang sama sekali tidak membantu
menghilangkan sakit kepalanya. Gadis itu perlahan membuka matanya dan memandang
sekelilingnya, mencari tanda-tanda akan laki-laki tua yang merupakan hal
terakhir yang dilihatnya. Sembari menahan rasa sakit, ia memaksa dirinya bangun
dan menyandarkan tubuhnya pada besi jembatan. Pandangannya jatuh pada pemuda di
sisinya. A savior? Another monster like
Dante?
Kedua tangannya merapatkan jaket yang dikenakannya lalu
memeluk tubuhnya, matanya tertuju pada luka-luka kecil yang menghiasi kakinya. At least these ones could heal easily. “Kamu
siapa?” suaranya lirih, sedikit serak.
Sekali lagi gadis berdarah Prancis-Jawa ini meneliti wajah
pemuda disisinya, meingat-ingat dimana ia pernah melihatnya. Mukanya terlalu
familier dan bau alkohol serta rokok yang menempel di tubuhnya sedikit
mengingatkannya akan Dante setiap kali ia pulang dari pesta yang diadakan rekan
bisnisnya. “Do I know you?”
***
Sori lama. Nun pendek. Mianhae.
No comments:
Post a Comment