11.2.14

Mireille's 2.3

Ketika Dante pertama kali memperkenalkan dirinya sebagai calon kakak laki-lakinya, Mireille bisa membayangkan hal-hal seru yang bisa dilakukan dengan Dante layaknya sepasang kakak-beradik—liburan di salah satu private island yang dimiliki mendiang ayahnya, diantar pergi ke sekolah (dimana Rei akan pamer pada temannya betapa tampannya sang kakak) dan hal-hal yang lain. Mata birunya seolah menghipnotis Mireille untuk terus menatap ke dalamnya dan senyum boyish milik Dante membuat Mireille mengingat actor berkebangsaan Perancis dengan bekas luka di salah satu pipinya. Kalau dipikir lagi, Dante memang sekilas mirip dengan Gaspard Ulliel. Nope, not related, ma chérie, ucap Dante disertai senyum—yang membuat Mireille berharap dirinya bukan calon adik perempuan Dante namun calon istrinya—ketika Rei bertanya mengenai kemiripannya dengan Monsieur Ulliel.
Tentu saja, Dante menjadi sosok yang sempurna. Tampan, ramah, baik hati dan tentu saja, bloody rich—being someone who owns most of the stocks in Hannigan Enterprise at the age of 28 will do wonders to your bank account. Semua teman-teman Rei iri kepadanya begitu ia memperkenalkan Dante kepada mereka, satu poin tambahan ke dalam kehidupan sempurna milik Rei. Hanya Abel yang terlihat tidak setuju melihat lengan Dante melingkar di pinggangnya sore itu, mata hazel milik sahabatnya itu berkilat penuh amarah. Dan seringai menantang yang Dante perlihatkan pada Abel tidak membuat semuanya menjadi lebih baik.
“I don’t like him, Rei. He has this villainy aura all over him,” jelas pemuda yang lebih mudah beberapa bulan darinya. Rei tersenyum melihat raut serius menghias wajah Abel sembari menepuk-nepuk puncak kepalanya dan mengingatkan pemuda itu untuk tidak terlalu banyak membaca komik.
“Villains only exist in fictions, Sailendra,”
“We have monsters here. More frightening than the monsters in the closet,”
Kali ini Rei tertawa sembari menggelengkan kepalanya, “Natasha asked you to accompany her watching over the boys, didn’t she?” Natasha adalah sepupu perempuan satu-satunya Abel yang selalu membuat kakak-kakak sepupunya (dan adik-adiknya) mengikuti kemauannya dan tidak akan mau mendengar jawaban tidak.
“I mean it, Rei. If he does thing to you, you can always call me, okay?” ucap Abel, kali ini dengan nada yang lebih serius dari sebelumnya, membuat Rei mengangguk pelan, mencoba menerka hal apa yang dipikirkan pemuda bernama belakang Mahardian itu. Rei memang tidak pernah bisa menebak jalan pikir sahabatnya yang satu ini, Abel is too broody and angsty for Rei’s way of thinking, always suspicious of small things and always think of the worst from others.

-*-
Tangannya segera bergerak memijat kepalanya yang seolah terperas-peras, erangan kecil keluar dari mulutnya. Ia merasakan seseorang menyuruhnya untuk bangun dan tepukan di pipinya yang sama sekali tidak membantu menghilangkan sakit kepalanya. Gadis itu perlahan membuka matanya dan memandang sekelilingnya, mencari tanda-tanda akan laki-laki tua yang merupakan hal terakhir yang dilihatnya. Sembari menahan rasa sakit, ia memaksa dirinya bangun dan menyandarkan tubuhnya pada besi jembatan. Pandangannya jatuh pada pemuda di sisinya. A savior? Another monster like Dante? 
Kedua tangannya merapatkan jaket yang dikenakannya lalu memeluk tubuhnya, matanya tertuju pada luka-luka kecil yang menghiasi kakinya. At least these ones could heal easily. “Kamu siapa?” suaranya lirih, sedikit serak.

Sekali lagi gadis berdarah Prancis-Jawa ini meneliti wajah pemuda disisinya, meingat-ingat dimana ia pernah melihatnya. Mukanya terlalu familier dan bau alkohol serta rokok yang menempel di tubuhnya sedikit mengingatkannya akan Dante setiap kali ia pulang dari pesta yang diadakan rekan bisnisnya. “Do I know you?”

***
Sori lama. Nun pendek. Mianhae. 

No comments:

Post a Comment